"Tangiang ni damang dohot dainang"

"Tangiang ni damang dohot dainang"
Sai diramoti Tuhanta ma hamu among dohot hamu inong, mansai denggan pambahenan muna tu hami angka ianakhon muna on.

Kamis, 02 Oktober 2014

Definisi Khotbah Menurut 3 Para Ahli dan menurut Penulis

Menurut Lukman Tambunan menyatakan bahwa khotbah berarti menyampaikan Firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab. Sehingga dalam khotbah haruslah diteliti dengan seksama bahwa yang menjadi pusat pemberitaan khotbah adalah apa yang telah dilakukan Tuhan kepada manusia, dan bukanlah pengetahuan manusia tentang Tuhan. Lukman juga menyatakan bahwa kita tidak boleh menyatakan telah mendengarkan khotbah jika kita hanya melihat “khotbah pada batu”. Demikian pula sebuah pewartaan tidak boleh dinamakan khotbah jika yang diberitakan bukan berita Injil, yaitu kebenaran Allah yang dinyatakan d dalam Alkitab, yang secara istimewa dinyatakan di dalam Kristus. Sesuatu disebut sebagai khotbah apabila berita yang disampaikan oleh seorang manusia kepada sesamanya adalah perihal kebenaran Allah. Sifat khotbah adalah menguraikan Alkitab, dan cara yang paling baik untuk memahami arti dan menguraikan isi Alkitab ialah dengan melihat sifat pemberitaan.[1]
            Menurut J.I.Packer menyatakan bahwa a). khotbah adalah sebuah proses komunikasi. Dalam hal ini dikatakan dalam khotbah Tuhan sebagai pencipta dan juga penebus secara berlanjut berkomunikasi melalui firmanNya kepada umat manusia, secara khusus kepada kepada umat yang percaya kepadaNya. Jadi khotbah dapat dilihat sebagai suatu proses komunikasi yang terdiri dari teks Alkitab (firman Tuhan), sumber berita (source), message dan receiver. b). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang memberitakan suara kenabian sebagaimana halnya para nabi zaman Alkitab. Mereka berfungsi sebagai juru bicara dalam menyampaikan pesan dari Tuhan. Khotbah berarti berkata-kata tentang “apa kata Tuhan” sebagai representasi kehadiran Tuhan di tengah jemaat. Sehingga memungkinkan kita dengan segala kenyataan pergumulan hidup ini, dikuatkan kembali melalui kesaksian umat Israel (dahulu) ketika mereka berjumpa dan berusaha memaknai Tuhan sebagaimana disaksikan dalam Alkitab. c). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang bersifat mengajak. Dan khotbah bukanlah alat untuk menghakimi, dan bukan pula alat yang digunakan untuk menakut-nakuti umat. Melainkan sebuah ajakan untuk membangkitkan iman jemaat, sehingga terbantu untuk mengalami perubahan di dalam hati mereka dan dapat merespons khotbah itu secara positif di dalam kehidupan sehari-hari mereka. d). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang sangat berwibawa dan berbobot. e). Khotbah adalah sebuah proses komunikasi inkarnasi, yaitu proses memberitakan kebenaran firman Tuhan melalui kepribadian pengkhotbah itu sendiri.[2]
            Menurut Williams Evans menyatakan bahwa khotbah hanyalah berita perihal kebenaran Allah yang disampaikan oleh seorang manusia kepada sesamanya. Khotbah itu merupakan kebenaran yang sudah diterima dari Allah yang harus diberitakan kepada orang lain. Berbuat bersama-sama dengan Allah oleh karena manusia, dan berbuat bersama-sama dengan manusia oleh karena Allah. Kebenaran itu tidak boleh hanya terbit dari mulut saja, melalui bibir dan masuk di otak, akan tetapi harus keluar dari watak dan kepribadian.[3]
            Menurut saya sendiri bahwa khotbah itu adalah sebuah komunikasi atau percakapan, dan juga sebuah tradisi yang membicarakan tentang Alkitab (firman Tuhan). Dalam khotbah haruslah berisi tentang kebenaran dari firman Tuhan, yang dapat mengubah hidup manusia menjadi lebih baik. Yang dapat semakin meneguhkan kepercayaan manusia kepada kebenaran firman Tuhan. Khotbah merupakan sebuah pesan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain tentang Allah. Dikatakan khotbah jika pesan yang disampaikan kepada orang lain dapat menyentuh kehidupan orang yang mendengarkan dan dapat mengubah pikiran pendengar kearah yang positif. Orang yang berdiri di atas mimbar belum tentu dikatakan sebagai seorang pengkhotbah apabila yang dibicarakan tentang hal lain seperti politik dan lainnya. Seseorang dikatakan pengkhotbah hanya apabila membicarakan tentang firman Tuhan, yang mampu membangun jemaat sebagai satu tubuh yang saling berhubungan dan merupakan bagian-bagian tubuh dan gereja sebagai satu kesatuan, serta kepada Allah dan dunia. Sehingga saya menyatakan bahwa yang menjadi tujuan dari khotbah itu adalah membawa pendengarnya untuk percaya dan taat kepada Allah karena orang percaya dan taat akan diselamatkan.


Khotbah Merupakan Dialog, bukan Monolog 
2  Khotbah dikatakan sebagai dialog bukan monolog. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa khotbah merupakan sebuah komunikasi. Dikatakan sebuah komunikasi yaitu antara Allah dan Jemaat.[4] Pengkhotbah itu menyampaikan firman Tuhan kepada jemaat hal ini menyatakan bahwa yang terjadi adalah dialog bukan monolog. Karena khotbah itu terjadi bukan karena pengkhotbah sendiri, melainkan karena keikut sertaan jemaat dan Allah, sehingga khotbah dapat disampaikan.[5]
            “Sebuah khotbah dikatakan dialog bukan monolog”. Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Menurut saya ketika seseorang berkhotbah, dimana saja tempatnya, kapan saja, dalam situasi apapun itu pasti ada yang mendengarkan. Di dalam khotbah yang disampaikan merupakan tentang firman Tuhan yang menyatakan Allah yang berbicara dalam Alkitab kepada jemaat melalui pengkhotbah.

                                                                                   
 Dalam pemahaman saya menyatakan bahwa khotbah itu adalah sebuah dialog antar 3 unsur, yaitu:
·         Alkitab (Firman Tuhan: Allah yang berbicara)
·         Pengkhotbah (Sebagai jalan menyampaikan Firman Tuhan)
·         Jemaat
Alkitab sebagai sumber atau dasar penyampaian khotbah yang perlu digali dengan cermat. Sehingga kita memerluka buku-buku tafsir untuk menggali pesan apa yang hendak disampaikan kepada jemaat. Untuk itu seorang pengkhotbah perlu mempersiapkan diri sebelum berkhotbah. Karena yang hendak disampaikan kepada jemaat merupakan Firman Tuhan.
Pengkhotbah dikatakan sebagai jalan penyampaian Firman Tuhan. Ketika seorang pengkhotbah berdiri di atas mimbar untuk menyampaikan Firman Tuhan, hendaklah dia menyadari bahwa yang berbicara dalam khotbah itu adalah Tuhan. Untuk itu hendaklah seorang menjadi seorang pengkhotbah memulai perannya menjadi seorang pengkhotbah dengan menggali potensi dirinya. Di sekitar kita telah banyak cara untuk menggali potensi diri sehingga khotbah yang disampaikan mencapai tujuan dari khotbah itu sebenarnya. Upaya menggali diri amat penting. Sebab seringkali seorang pengkhotbah berupaya mengikuti potret orang lain. Sehingga dia tidak memberitakan Firman itu dengan kepribadiannya sehingga sering terjadi khotbah yang tidak menyentuh. Ketika berkhotbah, haruslah menyadari bahwa khotbah merupakan perkataan Tuhan yang hendak disampaikan kepada jemaat.
            Jemaat dikatakan sebagai objek dan juga sebagai objek, yaitu yang menjadi tujuan khotbah disampaikan. Menyampaikan Firman Tuhan kepada jemaat oleh pengkhotbah. Jemaat diakatakan sebagai subjek karena mereka juga terlibat dalam pelaksanaan khotbah. Khotbah bukan hanya sekedar tugas dari pengkhotbah, melainkan juga menjadi tugas jemaat. Jemaat juga sering mendapat sapaan dari pengkhotbah ketika memulai khotbah dan menutup khotbah, hal ini sudah menyatakan sebuah dialog terjadi.
            Khotbah itu sudah menjadi dialog, antara Alkitab, pengkhotbah, dan juga jemaat. Allah berbicara dalam Alkitab kepada jemaat melalui pengkhotbah. Hal inilah yang dinamakan dialog antara Allah dan manusia. Namun saya berpendapat bahwa masa sekarang ini hanyalah monolog bukan dialog. Pengkhotbah sering menganggap dirinya yang berbicara di atas mimbar, bukan Allah. Sehingga tidak akan terjadi khotbah yang sebenarnya.

Pada masa jemaat mula-mula sesudah Perjanjian Baru, 
ada beberapa transisi atau peralihan yang sangat signifikan
Pada masa jemaat mula-mula sesudah Perjanjian Baru, ada beberapa peralihan yang sangat signifikan. Sehingga mengakibatkan dampak kepada khotbah dan struktur peribadahan pada masa sekarang. Peralihan tersebut diantaranya:
Peralihan yang terjadi terdapat pada sipengkhotbah. Pada masa jemaat mula-mula peralihan terjadi, yaitu peralihan sosok pengkhotbah/nabi dari sosok yang kharismatik kepada keimanan yang hierarkis. Yesus juga dianggap sebagai nabi. Seorang pengkhotbah memberitakan firman dengan kharisma dalam artian dia berkhotbah dengan tuntunan Kristus dengan talenta yang Tuhan berikan kepadanya. Sehingga pengkhotbah yang demikian terlihat sangat berwibawa, mampu membawa pendengar masuk ke dalam khotbah yang disampaikan. Sehingga tujuan dari khotbah yang sebenarnya dapat dicapai oleh pengkhotbah yang kharismatik. Namun hal itu sudah mendapat peralihan menjadi pengkhotbah yang hienarkis. Pengkhotbah yang demikian merupakan pengkhotbah yang tersusun dengan rapi dan sistematis. Khotbah yang disampaikan tersusun dengan sistematis, berurut, dan berpatokan kepada apa yang telah sisusun sebelum khotbah itu dimulai.
Kemudian terdapat juga peralihan peribadahan Synaxis (Yahudi) menjadi Eucharist (Kristen). Pada peribadahan Yahudi mereka berkumpul pada hari Sabbat dan setelah selesai peribadahan merka berkumpul kembali untuk melakukan Perjamuan Kudus dengan membagi-bagikan potongan roti. Hal itu terus berlanjut dilakukan setiap peribadahan selesai dilakukan.  Peralihan yang terjadi dari peribadahan Synaxis menjadi Eucharist ini merupakan peralihan yang sangat mempengaruhi pada masa itu. Peribadahan Yahudi merupakan peribadahan yang tertutup sedangkan peribadahan Eucharist adalah peribadahan yang terbuka kepada siapa saja bagi yang mau mengikuti ibadah.
Dalam bentuk penafsiran firman Tuhan mengalami transisi dari konsep alegori yang khas secara Yahudi kepada tipologi yang khas secara Kristen. Orang-orang pemula Kristen melihat firman itu sebagai tipologi dimana sosok Yesus Kristus sebagai Mesias yang menjadi penghubung antara orang-orang dengan Allah. Berbicara tentang firman Tuhan berarti berbicara tentang Yesus Kristus. Dalam konsep alegori yang menjadi tafsiran mereka bukanlah inti dari khotbah, melainkan hal yang lainnya. Sedangkan dalam tafsiran tipologi yang menjadi tafsiran utama adalah inti dari khotbah yang hendak disampaikan. Misalnya: “Berita Kelahiran Kristus”. Dalam konsep alegori, yang menjadi tafsiran adalah Maria yang melahirkan Kristus. Sedangkan dalam konsep tipologi, yang menjadi tafsiran utama adalah Kristus sebagai Mesias.
Model penyajian pengajaran mengalami trasisi, dari pemaparan yang sifatnya sejarah kepada retorika pasif. Pengkhotbah disatu daerah menjadi seorang pengkhotbah ketika para Rasul itu pergi dan mereka membuat pengkhotbah dari daerah itu sendiri. Jadi pengkhotbah itu bisa siapa saja, cukup hanya mendengarkan khotbah kemudian dia dapat mengkhotbahkannya kepada orang lain.
Menurut saya sendiri peralihan tersebut memiliki dampak pada masa itu, pengkhotbah pada masa itu hanya mempermodalkan pendengaran saja untuk menjadi seorang pengkhotbah, dan mereka memberitakan kembali kepada orang lain tanpa adanya kharisma dalam penyampaian khotbah. Hal itu mengakibatkan khotbah menjadi tidak menarik bagi pendengar. Mengenai peribadahan juga mempengaruhi khotbah pada masa itu. Peralihan menjadi eucharist (Kristen) yaitu terbuka kepada siapa saja, menjadikan pengkhotbah semakin banyak. Semakin banyak pendengar khotbah semakin sulit untuk melakukan dialog, sehingga khotbah menjadi sebuah monolog, yang hanya pengkhotbah yang berbicara dari atas mimbar.


Pandangan salah seorang bapa gereja antara abad ke-1 hingga abad ke-5 mengenai khotbah

    Seorang bapa gereja pada tahun 354-430 yang bernama Aurelius Agustinus, mengatakan bahwa sebuah khotbah mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
·         Unsur pengajaran
·         Unsur menyenangkan hati
·         Unsur menggerakkan hati
Dia juga menyatakan bahwa khotbah seharusnya bertujuan membawa pengetahuan tentang kebenaran, membawa sukacita karena kebenaran dan menjadi dinamis karena kebenaran. Berdasarkan hal inilah sehingga Agustinus berkhotbah dengan metode “sermo-homolis” bukan dengan metode “retorika”.
Pada awal kekristenannya, Agustinus percaya bahwa kita memerlukan kasih karunia Allah yaitu pertolongan batin dari roh Kudus untuk hidup sebagai orang Kristen. Namun dia juga percaya bahwa orang yang tidak percaya tanpa bantuan dan atas kemauannya yang bebas mampu mengambil langkah pertama untuk berbalik kepada Allah. Dengan kata lain, Allah memberi kasih karuniaNya (atau Roh Kudus) kepada mereka yang menanggapi Injil dengan iman. Keselamatan merupakan seluruhnya karunia Allah dari mula-mula dan seterusnya. Karunia itu diberikan kepada mereka yang dipilih oleh Dia. Jadi pemberian karunia dari Allah bukan tergantung pada kehendak orang atau usaha orang tetapi pada kemurahan hati Allah.[6]
Jika saya melihat khotbah masa sekarang ini, sudah jarang saya menemukan khotbah seperti yang dinyatakan oleh Agustinus. Harus bersifat pengajaran, menyenangkan hati, dan menggerakkan hati.
Bersifat pengajaran. Khotbah pada masa sekarang sudah cenderung akan doktrin. Yang berusaha untuk membawa jemaat kepada pemikiran pengkhotbah. Namun hal yang disampaikan bersifat politik, bersifat menghukum dan juga bersifat menyinggung pendengar. Jadi khotbah yang disampaikan bukanlah bersifat pengajaran lagi.
Khotbah menyenangkan hati. Menurut Agustinus, ketika orang berkhotbah maka khotbah yang disampaikan kepada jemaat haruslah menyenangkan hati pendengarnya. Dengan firman yang disampaikan maka jemaat merasa senang dengan kebenaran firman yang sudah mereka terima. Namun sekarang ini kita sudah melihat, ketika orang pulang dari gereja mereka sering merepet-repet, mereka menggosip tentang khotbah yang disampaikan. Karena pengkhotbah menyampaikan firman itu bukan berdasarkan pengetahuan tentang kebenaran firman, melainkan karena dendam sehingga menyinggung orang lain, karena kedudukan sehingga harus berpolitik.
Khotbah menggerakkan hati. Menurut Agustinus ketika seseorang berkhotbah maka harus mampu untuk mengajak pendengar, mampu untuk menggerakkan hati pendengar. Mengajak pendengar untuk berbuat dan bertindak seperti apa yang telah disampaikan di dalam khotbah. Dengan mendengarkan khotbah yang disampaikan, hati jemaat tergerak untuk melakukannya. Sehingga diperlukan khotbah yang menyentuh kehidupan jemaat, yang menjadi pengajaran bagi pendengar. Namun saat ini kita sudah jarang menemukan pengkhotbah yang mampu berkhotbah hingga mencapai tujuan ini. Banyak pengkhotbah yang hanya menjelaskan tentang sejarahnya saja, sehingga jemaat merasa bosan dan tidak tau apa yang menjadi tujuan dari khotbah itu disampaikan.



[1] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 20101: hlm. 2-3
[2] Lih. Lukman Tambunan, Khotbah., hlm. 3-8
[3] Lih. Williams Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 200823: hlm. 10-11
[4] Lih. J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 20087: hlm.218
[5] Lih. H. Rothlisberger, HOMILETIKA: Ilmu Berkhotbah, BPK-Gunung Mulia, Jakarta: hlm. 22
[6] Tony Lane, RUNTUT PIJAR: Sejarah Pemikiran Kristiani, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 20098: hlm. 41-42