Definisi Khotbah Menurut 3 Para Ahli dan menurut Penulis
Menurut
Lukman Tambunan menyatakan bahwa khotbah berarti menyampaikan Firman Tuhan yang
tertulis dalam Alkitab. Sehingga dalam khotbah haruslah diteliti dengan seksama
bahwa yang menjadi pusat pemberitaan khotbah adalah apa yang telah dilakukan
Tuhan kepada manusia, dan bukanlah pengetahuan manusia tentang Tuhan. Lukman
juga menyatakan bahwa kita tidak boleh menyatakan telah mendengarkan khotbah
jika kita hanya melihat “khotbah pada batu”. Demikian pula sebuah pewartaan
tidak boleh dinamakan khotbah jika yang diberitakan bukan berita Injil, yaitu
kebenaran Allah yang dinyatakan d dalam Alkitab, yang secara istimewa
dinyatakan di dalam Kristus. Sesuatu disebut sebagai khotbah apabila berita
yang disampaikan oleh seorang manusia kepada sesamanya adalah perihal kebenaran
Allah. Sifat khotbah adalah menguraikan Alkitab, dan cara yang paling baik
untuk memahami arti dan menguraikan isi Alkitab ialah dengan melihat sifat
pemberitaan.[1]
Menurut
J.I.Packer menyatakan bahwa a). khotbah adalah sebuah proses komunikasi. Dalam
hal ini dikatakan dalam khotbah Tuhan sebagai pencipta dan juga penebus secara
berlanjut berkomunikasi melalui firmanNya kepada umat manusia, secara khusus
kepada kepada umat yang percaya kepadaNya. Jadi khotbah dapat dilihat sebagai
suatu proses komunikasi yang terdiri dari teks Alkitab (firman Tuhan), sumber
berita (source), message dan receiver. b). Khotbah adalah sebuah komunikasi
yang memberitakan suara kenabian sebagaimana halnya para nabi zaman Alkitab.
Mereka berfungsi sebagai juru bicara dalam menyampaikan pesan dari Tuhan.
Khotbah berarti berkata-kata tentang “apa kata Tuhan” sebagai representasi
kehadiran Tuhan di tengah jemaat. Sehingga memungkinkan kita dengan segala
kenyataan pergumulan hidup ini, dikuatkan kembali melalui kesaksian umat Israel
(dahulu) ketika mereka berjumpa dan berusaha memaknai Tuhan sebagaimana
disaksikan dalam Alkitab. c). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang bersifat
mengajak. Dan khotbah bukanlah alat untuk menghakimi, dan bukan pula alat yang
digunakan untuk menakut-nakuti umat. Melainkan sebuah ajakan untuk
membangkitkan iman jemaat, sehingga terbantu untuk mengalami perubahan di dalam
hati mereka dan dapat merespons khotbah itu secara positif di dalam kehidupan
sehari-hari mereka. d). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang sangat berwibawa
dan berbobot. e). Khotbah adalah sebuah proses komunikasi inkarnasi, yaitu
proses memberitakan kebenaran firman Tuhan melalui kepribadian pengkhotbah itu
sendiri.[2]
Menurut
Williams Evans menyatakan bahwa khotbah hanyalah berita perihal kebenaran Allah
yang disampaikan oleh seorang manusia kepada sesamanya. Khotbah itu merupakan
kebenaran yang sudah diterima dari Allah yang harus diberitakan kepada orang
lain. Berbuat bersama-sama dengan Allah oleh karena manusia, dan berbuat
bersama-sama dengan manusia oleh karena Allah. Kebenaran itu tidak boleh hanya
terbit dari mulut saja, melalui bibir dan masuk di otak, akan tetapi harus
keluar dari watak dan kepribadian.[3]
Menurut
saya sendiri bahwa khotbah itu adalah sebuah komunikasi atau percakapan, dan
juga sebuah tradisi yang membicarakan tentang Alkitab (firman Tuhan). Dalam
khotbah haruslah berisi tentang kebenaran dari firman Tuhan, yang dapat
mengubah hidup manusia menjadi lebih baik. Yang dapat semakin meneguhkan
kepercayaan manusia kepada kebenaran firman Tuhan. Khotbah merupakan sebuah
pesan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain tentang Allah.
Dikatakan khotbah jika pesan yang disampaikan kepada orang lain dapat menyentuh
kehidupan orang yang mendengarkan dan dapat mengubah pikiran pendengar kearah
yang positif. Orang yang berdiri di atas mimbar belum tentu dikatakan sebagai
seorang pengkhotbah apabila yang dibicarakan tentang hal lain seperti politik
dan lainnya. Seseorang dikatakan pengkhotbah hanya apabila membicarakan tentang
firman Tuhan, yang mampu membangun jemaat sebagai satu tubuh yang saling
berhubungan dan merupakan bagian-bagian tubuh dan gereja sebagai satu kesatuan,
serta kepada Allah dan dunia. Sehingga saya menyatakan bahwa yang menjadi
tujuan dari khotbah itu adalah membawa pendengarnya untuk percaya dan taat
kepada Allah karena orang percaya dan taat akan diselamatkan.
Khotbah Merupakan Dialog, bukan Monolog
2 Khotbah
dikatakan sebagai dialog bukan monolog. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa
khotbah merupakan sebuah komunikasi. Dikatakan sebuah komunikasi yaitu antara
Allah dan Jemaat.[4]
Pengkhotbah itu menyampaikan firman Tuhan kepada jemaat hal ini menyatakan
bahwa yang terjadi adalah dialog bukan monolog. Karena khotbah itu terjadi
bukan karena pengkhotbah sendiri, melainkan karena keikut sertaan jemaat dan
Allah, sehingga khotbah dapat disampaikan.[5]
“Sebuah
khotbah dikatakan dialog bukan monolog”. Saya sangat setuju dengan pernyataan
ini. Menurut saya ketika seseorang berkhotbah, dimana saja tempatnya, kapan
saja, dalam situasi apapun itu pasti ada yang mendengarkan. Di dalam khotbah
yang disampaikan merupakan tentang firman Tuhan yang menyatakan Allah yang
berbicara dalam Alkitab kepada jemaat melalui pengkhotbah.
Dalam pemahaman saya menyatakan bahwa khotbah itu adalah
sebuah dialog antar 3 unsur, yaitu:
·
Alkitab (Firman Tuhan:
Allah yang berbicara)
·
Pengkhotbah (Sebagai
jalan menyampaikan Firman Tuhan)
·
Jemaat
Alkitab sebagai
sumber atau dasar penyampaian khotbah yang perlu digali dengan cermat. Sehingga
kita memerluka buku-buku tafsir untuk menggali pesan apa yang hendak
disampaikan kepada jemaat. Untuk itu seorang pengkhotbah perlu mempersiapkan
diri sebelum berkhotbah. Karena yang hendak disampaikan kepada jemaat merupakan
Firman Tuhan.
Pengkhotbah dikatakan
sebagai jalan penyampaian Firman Tuhan. Ketika seorang pengkhotbah berdiri di
atas mimbar untuk menyampaikan Firman Tuhan, hendaklah dia menyadari bahwa yang
berbicara dalam khotbah itu adalah Tuhan. Untuk itu hendaklah seorang menjadi
seorang pengkhotbah memulai perannya menjadi seorang pengkhotbah dengan menggali
potensi dirinya. Di sekitar kita telah banyak cara untuk menggali potensi diri
sehingga khotbah yang disampaikan mencapai tujuan dari khotbah itu sebenarnya.
Upaya menggali diri amat penting. Sebab seringkali seorang pengkhotbah berupaya
mengikuti potret orang lain. Sehingga dia tidak memberitakan Firman itu dengan
kepribadiannya sehingga sering terjadi khotbah yang tidak menyentuh. Ketika
berkhotbah, haruslah menyadari bahwa khotbah merupakan perkataan Tuhan yang
hendak disampaikan kepada jemaat.
Jemaat
dikatakan sebagai objek dan juga sebagai objek, yaitu yang menjadi tujuan
khotbah disampaikan. Menyampaikan Firman Tuhan kepada jemaat oleh pengkhotbah.
Jemaat diakatakan sebagai subjek karena mereka juga terlibat dalam pelaksanaan
khotbah. Khotbah bukan hanya sekedar tugas dari pengkhotbah, melainkan juga
menjadi tugas jemaat. Jemaat juga sering mendapat sapaan dari pengkhotbah
ketika memulai khotbah dan menutup khotbah, hal ini sudah menyatakan sebuah
dialog terjadi.
Khotbah
itu sudah menjadi dialog, antara Alkitab, pengkhotbah, dan juga jemaat. Allah
berbicara dalam Alkitab kepada jemaat melalui pengkhotbah. Hal inilah yang
dinamakan dialog antara Allah dan manusia. Namun saya berpendapat bahwa masa
sekarang ini hanyalah monolog bukan dialog. Pengkhotbah sering menganggap
dirinya yang berbicara di atas mimbar, bukan Allah. Sehingga tidak akan terjadi
khotbah yang sebenarnya.
Pada
masa jemaat mula-mula
sesudah Perjanjian Baru,
ada beberapa transisi atau peralihan yang
sangat signifikan
Pada masa jemaat mula-mula sesudah Perjanjian Baru, ada beberapa peralihan yang
sangat signifikan. Sehingga mengakibatkan dampak kepada khotbah dan struktur
peribadahan pada masa sekarang. Peralihan tersebut diantaranya:
Peralihan yang terjadi terdapat pada sipengkhotbah.
Pada masa jemaat mula-mula peralihan terjadi, yaitu peralihan sosok pengkhotbah/nabi
dari sosok yang kharismatik kepada keimanan yang hierarkis. Yesus juga dianggap
sebagai nabi. Seorang pengkhotbah memberitakan firman dengan kharisma dalam
artian dia berkhotbah dengan tuntunan Kristus dengan talenta yang Tuhan berikan
kepadanya. Sehingga pengkhotbah yang demikian terlihat sangat berwibawa, mampu
membawa pendengar masuk ke dalam khotbah yang disampaikan. Sehingga tujuan dari
khotbah yang sebenarnya dapat dicapai oleh pengkhotbah yang kharismatik. Namun
hal itu sudah mendapat peralihan menjadi pengkhotbah yang hienarkis. Pengkhotbah
yang demikian merupakan pengkhotbah yang tersusun dengan rapi dan sistematis.
Khotbah yang disampaikan tersusun dengan sistematis, berurut, dan berpatokan
kepada apa yang telah sisusun sebelum khotbah itu dimulai.
Kemudian terdapat juga peralihan peribadahan Synaxis
(Yahudi) menjadi Eucharist (Kristen). Pada peribadahan Yahudi mereka berkumpul
pada hari Sabbat dan setelah selesai peribadahan merka berkumpul kembali untuk
melakukan Perjamuan Kudus dengan membagi-bagikan potongan roti. Hal itu terus berlanjut
dilakukan setiap peribadahan selesai dilakukan. Peralihan yang terjadi dari peribadahan
Synaxis menjadi Eucharist ini merupakan peralihan yang sangat mempengaruhi pada
masa itu. Peribadahan Yahudi merupakan peribadahan yang tertutup sedangkan peribadahan
Eucharist adalah peribadahan yang terbuka kepada siapa saja bagi yang mau
mengikuti ibadah.
Dalam bentuk penafsiran firman Tuhan mengalami
transisi dari konsep alegori yang khas secara Yahudi kepada tipologi yang khas
secara Kristen. Orang-orang pemula Kristen melihat firman itu sebagai tipologi
dimana sosok Yesus Kristus sebagai Mesias yang menjadi penghubung antara
orang-orang dengan Allah. Berbicara tentang firman Tuhan berarti berbicara
tentang Yesus Kristus. Dalam konsep alegori yang menjadi tafsiran mereka
bukanlah inti dari khotbah, melainkan hal yang lainnya. Sedangkan dalam
tafsiran tipologi yang menjadi tafsiran utama adalah inti dari khotbah yang
hendak disampaikan. Misalnya: “Berita Kelahiran Kristus”. Dalam konsep alegori,
yang menjadi tafsiran adalah Maria yang melahirkan Kristus. Sedangkan dalam
konsep tipologi, yang menjadi tafsiran utama adalah Kristus sebagai Mesias.
Model penyajian pengajaran mengalami trasisi, dari
pemaparan yang sifatnya sejarah kepada retorika pasif. Pengkhotbah disatu
daerah menjadi seorang pengkhotbah ketika para Rasul itu pergi dan mereka
membuat pengkhotbah dari daerah itu sendiri. Jadi pengkhotbah itu bisa siapa
saja, cukup hanya mendengarkan khotbah kemudian dia dapat mengkhotbahkannya
kepada orang lain.
Menurut saya sendiri peralihan tersebut memiliki
dampak pada masa itu, pengkhotbah pada masa itu hanya mempermodalkan
pendengaran saja untuk menjadi seorang pengkhotbah, dan mereka memberitakan
kembali kepada orang lain tanpa adanya kharisma dalam penyampaian khotbah. Hal
itu mengakibatkan khotbah menjadi tidak menarik bagi pendengar. Mengenai
peribadahan juga mempengaruhi khotbah pada masa itu. Peralihan menjadi
eucharist (Kristen) yaitu terbuka kepada siapa saja, menjadikan pengkhotbah
semakin banyak. Semakin banyak pendengar khotbah semakin sulit untuk melakukan
dialog, sehingga khotbah menjadi sebuah monolog, yang hanya pengkhotbah yang
berbicara dari atas mimbar.
Pandangan salah seorang bapa gereja antara abad ke-1 hingga abad ke-5
mengenai khotbah
Seorang
bapa gereja pada tahun 354-430 yang bernama Aurelius Agustinus, mengatakan
bahwa sebuah khotbah mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
·
Unsur pengajaran
·
Unsur
menyenangkan hati
·
Unsur
menggerakkan hati
Dia juga menyatakan bahwa khotbah seharusnya bertujuan
membawa pengetahuan tentang kebenaran, membawa sukacita karena kebenaran dan
menjadi dinamis karena kebenaran. Berdasarkan hal inilah sehingga Agustinus
berkhotbah dengan metode “sermo-homolis” bukan dengan metode “retorika”.
Pada awal kekristenannya, Agustinus percaya bahwa kita
memerlukan kasih karunia Allah yaitu pertolongan batin dari roh Kudus untuk
hidup sebagai orang Kristen. Namun dia juga percaya bahwa orang yang tidak
percaya tanpa bantuan dan atas kemauannya yang bebas mampu mengambil langkah
pertama untuk berbalik kepada Allah. Dengan kata lain, Allah memberi kasih
karuniaNya (atau Roh Kudus) kepada mereka yang menanggapi Injil dengan iman.
Keselamatan merupakan seluruhnya karunia Allah dari mula-mula dan seterusnya.
Karunia itu diberikan kepada mereka yang dipilih oleh Dia. Jadi pemberian
karunia dari Allah bukan tergantung pada kehendak orang atau usaha orang tetapi
pada kemurahan hati Allah.[6]
Jika saya melihat khotbah masa sekarang ini, sudah
jarang saya menemukan khotbah seperti yang dinyatakan oleh Agustinus. Harus
bersifat pengajaran, menyenangkan hati, dan menggerakkan hati.
Bersifat
pengajaran. Khotbah pada
masa sekarang sudah cenderung akan doktrin. Yang berusaha untuk membawa jemaat
kepada pemikiran pengkhotbah. Namun hal yang disampaikan bersifat politik,
bersifat menghukum dan juga bersifat menyinggung pendengar. Jadi khotbah yang
disampaikan bukanlah bersifat pengajaran lagi.
Khotbah
menyenangkan hati. Menurut
Agustinus, ketika orang berkhotbah maka khotbah yang disampaikan kepada jemaat
haruslah menyenangkan hati pendengarnya. Dengan firman yang disampaikan maka
jemaat merasa senang dengan kebenaran firman yang sudah mereka terima. Namun
sekarang ini kita sudah melihat, ketika orang pulang dari gereja mereka sering
merepet-repet, mereka menggosip tentang khotbah yang disampaikan. Karena
pengkhotbah menyampaikan firman itu bukan berdasarkan pengetahuan tentang
kebenaran firman, melainkan karena dendam sehingga menyinggung orang lain,
karena kedudukan sehingga harus berpolitik.
Khotbah
menggerakkan hati. Menurut
Agustinus ketika seseorang berkhotbah maka harus mampu untuk mengajak pendengar,
mampu untuk menggerakkan hati pendengar. Mengajak pendengar untuk berbuat dan
bertindak seperti apa yang telah disampaikan di dalam khotbah. Dengan
mendengarkan khotbah yang disampaikan, hati jemaat tergerak untuk melakukannya.
Sehingga diperlukan khotbah yang menyentuh kehidupan jemaat, yang menjadi
pengajaran bagi pendengar. Namun saat ini kita sudah jarang menemukan
pengkhotbah yang mampu berkhotbah hingga mencapai tujuan ini. Banyak
pengkhotbah yang hanya menjelaskan tentang sejarahnya saja, sehingga jemaat
merasa bosan dan tidak tau apa yang menjadi tujuan dari khotbah itu
disampaikan.