"Tangiang ni damang dohot dainang"

"Tangiang ni damang dohot dainang"
Sai diramoti Tuhanta ma hamu among dohot hamu inong, mansai denggan pambahenan muna tu hami angka ianakhon muna on.

Kamis, 02 Oktober 2014

Definisi Khotbah Menurut 3 Para Ahli dan menurut Penulis

Menurut Lukman Tambunan menyatakan bahwa khotbah berarti menyampaikan Firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab. Sehingga dalam khotbah haruslah diteliti dengan seksama bahwa yang menjadi pusat pemberitaan khotbah adalah apa yang telah dilakukan Tuhan kepada manusia, dan bukanlah pengetahuan manusia tentang Tuhan. Lukman juga menyatakan bahwa kita tidak boleh menyatakan telah mendengarkan khotbah jika kita hanya melihat “khotbah pada batu”. Demikian pula sebuah pewartaan tidak boleh dinamakan khotbah jika yang diberitakan bukan berita Injil, yaitu kebenaran Allah yang dinyatakan d dalam Alkitab, yang secara istimewa dinyatakan di dalam Kristus. Sesuatu disebut sebagai khotbah apabila berita yang disampaikan oleh seorang manusia kepada sesamanya adalah perihal kebenaran Allah. Sifat khotbah adalah menguraikan Alkitab, dan cara yang paling baik untuk memahami arti dan menguraikan isi Alkitab ialah dengan melihat sifat pemberitaan.[1]
            Menurut J.I.Packer menyatakan bahwa a). khotbah adalah sebuah proses komunikasi. Dalam hal ini dikatakan dalam khotbah Tuhan sebagai pencipta dan juga penebus secara berlanjut berkomunikasi melalui firmanNya kepada umat manusia, secara khusus kepada kepada umat yang percaya kepadaNya. Jadi khotbah dapat dilihat sebagai suatu proses komunikasi yang terdiri dari teks Alkitab (firman Tuhan), sumber berita (source), message dan receiver. b). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang memberitakan suara kenabian sebagaimana halnya para nabi zaman Alkitab. Mereka berfungsi sebagai juru bicara dalam menyampaikan pesan dari Tuhan. Khotbah berarti berkata-kata tentang “apa kata Tuhan” sebagai representasi kehadiran Tuhan di tengah jemaat. Sehingga memungkinkan kita dengan segala kenyataan pergumulan hidup ini, dikuatkan kembali melalui kesaksian umat Israel (dahulu) ketika mereka berjumpa dan berusaha memaknai Tuhan sebagaimana disaksikan dalam Alkitab. c). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang bersifat mengajak. Dan khotbah bukanlah alat untuk menghakimi, dan bukan pula alat yang digunakan untuk menakut-nakuti umat. Melainkan sebuah ajakan untuk membangkitkan iman jemaat, sehingga terbantu untuk mengalami perubahan di dalam hati mereka dan dapat merespons khotbah itu secara positif di dalam kehidupan sehari-hari mereka. d). Khotbah adalah sebuah komunikasi yang sangat berwibawa dan berbobot. e). Khotbah adalah sebuah proses komunikasi inkarnasi, yaitu proses memberitakan kebenaran firman Tuhan melalui kepribadian pengkhotbah itu sendiri.[2]
            Menurut Williams Evans menyatakan bahwa khotbah hanyalah berita perihal kebenaran Allah yang disampaikan oleh seorang manusia kepada sesamanya. Khotbah itu merupakan kebenaran yang sudah diterima dari Allah yang harus diberitakan kepada orang lain. Berbuat bersama-sama dengan Allah oleh karena manusia, dan berbuat bersama-sama dengan manusia oleh karena Allah. Kebenaran itu tidak boleh hanya terbit dari mulut saja, melalui bibir dan masuk di otak, akan tetapi harus keluar dari watak dan kepribadian.[3]
            Menurut saya sendiri bahwa khotbah itu adalah sebuah komunikasi atau percakapan, dan juga sebuah tradisi yang membicarakan tentang Alkitab (firman Tuhan). Dalam khotbah haruslah berisi tentang kebenaran dari firman Tuhan, yang dapat mengubah hidup manusia menjadi lebih baik. Yang dapat semakin meneguhkan kepercayaan manusia kepada kebenaran firman Tuhan. Khotbah merupakan sebuah pesan yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain tentang Allah. Dikatakan khotbah jika pesan yang disampaikan kepada orang lain dapat menyentuh kehidupan orang yang mendengarkan dan dapat mengubah pikiran pendengar kearah yang positif. Orang yang berdiri di atas mimbar belum tentu dikatakan sebagai seorang pengkhotbah apabila yang dibicarakan tentang hal lain seperti politik dan lainnya. Seseorang dikatakan pengkhotbah hanya apabila membicarakan tentang firman Tuhan, yang mampu membangun jemaat sebagai satu tubuh yang saling berhubungan dan merupakan bagian-bagian tubuh dan gereja sebagai satu kesatuan, serta kepada Allah dan dunia. Sehingga saya menyatakan bahwa yang menjadi tujuan dari khotbah itu adalah membawa pendengarnya untuk percaya dan taat kepada Allah karena orang percaya dan taat akan diselamatkan.


Khotbah Merupakan Dialog, bukan Monolog 
2  Khotbah dikatakan sebagai dialog bukan monolog. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa khotbah merupakan sebuah komunikasi. Dikatakan sebuah komunikasi yaitu antara Allah dan Jemaat.[4] Pengkhotbah itu menyampaikan firman Tuhan kepada jemaat hal ini menyatakan bahwa yang terjadi adalah dialog bukan monolog. Karena khotbah itu terjadi bukan karena pengkhotbah sendiri, melainkan karena keikut sertaan jemaat dan Allah, sehingga khotbah dapat disampaikan.[5]
            “Sebuah khotbah dikatakan dialog bukan monolog”. Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Menurut saya ketika seseorang berkhotbah, dimana saja tempatnya, kapan saja, dalam situasi apapun itu pasti ada yang mendengarkan. Di dalam khotbah yang disampaikan merupakan tentang firman Tuhan yang menyatakan Allah yang berbicara dalam Alkitab kepada jemaat melalui pengkhotbah.

                                                                                   
 Dalam pemahaman saya menyatakan bahwa khotbah itu adalah sebuah dialog antar 3 unsur, yaitu:
·         Alkitab (Firman Tuhan: Allah yang berbicara)
·         Pengkhotbah (Sebagai jalan menyampaikan Firman Tuhan)
·         Jemaat
Alkitab sebagai sumber atau dasar penyampaian khotbah yang perlu digali dengan cermat. Sehingga kita memerluka buku-buku tafsir untuk menggali pesan apa yang hendak disampaikan kepada jemaat. Untuk itu seorang pengkhotbah perlu mempersiapkan diri sebelum berkhotbah. Karena yang hendak disampaikan kepada jemaat merupakan Firman Tuhan.
Pengkhotbah dikatakan sebagai jalan penyampaian Firman Tuhan. Ketika seorang pengkhotbah berdiri di atas mimbar untuk menyampaikan Firman Tuhan, hendaklah dia menyadari bahwa yang berbicara dalam khotbah itu adalah Tuhan. Untuk itu hendaklah seorang menjadi seorang pengkhotbah memulai perannya menjadi seorang pengkhotbah dengan menggali potensi dirinya. Di sekitar kita telah banyak cara untuk menggali potensi diri sehingga khotbah yang disampaikan mencapai tujuan dari khotbah itu sebenarnya. Upaya menggali diri amat penting. Sebab seringkali seorang pengkhotbah berupaya mengikuti potret orang lain. Sehingga dia tidak memberitakan Firman itu dengan kepribadiannya sehingga sering terjadi khotbah yang tidak menyentuh. Ketika berkhotbah, haruslah menyadari bahwa khotbah merupakan perkataan Tuhan yang hendak disampaikan kepada jemaat.
            Jemaat dikatakan sebagai objek dan juga sebagai objek, yaitu yang menjadi tujuan khotbah disampaikan. Menyampaikan Firman Tuhan kepada jemaat oleh pengkhotbah. Jemaat diakatakan sebagai subjek karena mereka juga terlibat dalam pelaksanaan khotbah. Khotbah bukan hanya sekedar tugas dari pengkhotbah, melainkan juga menjadi tugas jemaat. Jemaat juga sering mendapat sapaan dari pengkhotbah ketika memulai khotbah dan menutup khotbah, hal ini sudah menyatakan sebuah dialog terjadi.
            Khotbah itu sudah menjadi dialog, antara Alkitab, pengkhotbah, dan juga jemaat. Allah berbicara dalam Alkitab kepada jemaat melalui pengkhotbah. Hal inilah yang dinamakan dialog antara Allah dan manusia. Namun saya berpendapat bahwa masa sekarang ini hanyalah monolog bukan dialog. Pengkhotbah sering menganggap dirinya yang berbicara di atas mimbar, bukan Allah. Sehingga tidak akan terjadi khotbah yang sebenarnya.

Pada masa jemaat mula-mula sesudah Perjanjian Baru, 
ada beberapa transisi atau peralihan yang sangat signifikan
Pada masa jemaat mula-mula sesudah Perjanjian Baru, ada beberapa peralihan yang sangat signifikan. Sehingga mengakibatkan dampak kepada khotbah dan struktur peribadahan pada masa sekarang. Peralihan tersebut diantaranya:
Peralihan yang terjadi terdapat pada sipengkhotbah. Pada masa jemaat mula-mula peralihan terjadi, yaitu peralihan sosok pengkhotbah/nabi dari sosok yang kharismatik kepada keimanan yang hierarkis. Yesus juga dianggap sebagai nabi. Seorang pengkhotbah memberitakan firman dengan kharisma dalam artian dia berkhotbah dengan tuntunan Kristus dengan talenta yang Tuhan berikan kepadanya. Sehingga pengkhotbah yang demikian terlihat sangat berwibawa, mampu membawa pendengar masuk ke dalam khotbah yang disampaikan. Sehingga tujuan dari khotbah yang sebenarnya dapat dicapai oleh pengkhotbah yang kharismatik. Namun hal itu sudah mendapat peralihan menjadi pengkhotbah yang hienarkis. Pengkhotbah yang demikian merupakan pengkhotbah yang tersusun dengan rapi dan sistematis. Khotbah yang disampaikan tersusun dengan sistematis, berurut, dan berpatokan kepada apa yang telah sisusun sebelum khotbah itu dimulai.
Kemudian terdapat juga peralihan peribadahan Synaxis (Yahudi) menjadi Eucharist (Kristen). Pada peribadahan Yahudi mereka berkumpul pada hari Sabbat dan setelah selesai peribadahan merka berkumpul kembali untuk melakukan Perjamuan Kudus dengan membagi-bagikan potongan roti. Hal itu terus berlanjut dilakukan setiap peribadahan selesai dilakukan.  Peralihan yang terjadi dari peribadahan Synaxis menjadi Eucharist ini merupakan peralihan yang sangat mempengaruhi pada masa itu. Peribadahan Yahudi merupakan peribadahan yang tertutup sedangkan peribadahan Eucharist adalah peribadahan yang terbuka kepada siapa saja bagi yang mau mengikuti ibadah.
Dalam bentuk penafsiran firman Tuhan mengalami transisi dari konsep alegori yang khas secara Yahudi kepada tipologi yang khas secara Kristen. Orang-orang pemula Kristen melihat firman itu sebagai tipologi dimana sosok Yesus Kristus sebagai Mesias yang menjadi penghubung antara orang-orang dengan Allah. Berbicara tentang firman Tuhan berarti berbicara tentang Yesus Kristus. Dalam konsep alegori yang menjadi tafsiran mereka bukanlah inti dari khotbah, melainkan hal yang lainnya. Sedangkan dalam tafsiran tipologi yang menjadi tafsiran utama adalah inti dari khotbah yang hendak disampaikan. Misalnya: “Berita Kelahiran Kristus”. Dalam konsep alegori, yang menjadi tafsiran adalah Maria yang melahirkan Kristus. Sedangkan dalam konsep tipologi, yang menjadi tafsiran utama adalah Kristus sebagai Mesias.
Model penyajian pengajaran mengalami trasisi, dari pemaparan yang sifatnya sejarah kepada retorika pasif. Pengkhotbah disatu daerah menjadi seorang pengkhotbah ketika para Rasul itu pergi dan mereka membuat pengkhotbah dari daerah itu sendiri. Jadi pengkhotbah itu bisa siapa saja, cukup hanya mendengarkan khotbah kemudian dia dapat mengkhotbahkannya kepada orang lain.
Menurut saya sendiri peralihan tersebut memiliki dampak pada masa itu, pengkhotbah pada masa itu hanya mempermodalkan pendengaran saja untuk menjadi seorang pengkhotbah, dan mereka memberitakan kembali kepada orang lain tanpa adanya kharisma dalam penyampaian khotbah. Hal itu mengakibatkan khotbah menjadi tidak menarik bagi pendengar. Mengenai peribadahan juga mempengaruhi khotbah pada masa itu. Peralihan menjadi eucharist (Kristen) yaitu terbuka kepada siapa saja, menjadikan pengkhotbah semakin banyak. Semakin banyak pendengar khotbah semakin sulit untuk melakukan dialog, sehingga khotbah menjadi sebuah monolog, yang hanya pengkhotbah yang berbicara dari atas mimbar.


Pandangan salah seorang bapa gereja antara abad ke-1 hingga abad ke-5 mengenai khotbah

    Seorang bapa gereja pada tahun 354-430 yang bernama Aurelius Agustinus, mengatakan bahwa sebuah khotbah mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
·         Unsur pengajaran
·         Unsur menyenangkan hati
·         Unsur menggerakkan hati
Dia juga menyatakan bahwa khotbah seharusnya bertujuan membawa pengetahuan tentang kebenaran, membawa sukacita karena kebenaran dan menjadi dinamis karena kebenaran. Berdasarkan hal inilah sehingga Agustinus berkhotbah dengan metode “sermo-homolis” bukan dengan metode “retorika”.
Pada awal kekristenannya, Agustinus percaya bahwa kita memerlukan kasih karunia Allah yaitu pertolongan batin dari roh Kudus untuk hidup sebagai orang Kristen. Namun dia juga percaya bahwa orang yang tidak percaya tanpa bantuan dan atas kemauannya yang bebas mampu mengambil langkah pertama untuk berbalik kepada Allah. Dengan kata lain, Allah memberi kasih karuniaNya (atau Roh Kudus) kepada mereka yang menanggapi Injil dengan iman. Keselamatan merupakan seluruhnya karunia Allah dari mula-mula dan seterusnya. Karunia itu diberikan kepada mereka yang dipilih oleh Dia. Jadi pemberian karunia dari Allah bukan tergantung pada kehendak orang atau usaha orang tetapi pada kemurahan hati Allah.[6]
Jika saya melihat khotbah masa sekarang ini, sudah jarang saya menemukan khotbah seperti yang dinyatakan oleh Agustinus. Harus bersifat pengajaran, menyenangkan hati, dan menggerakkan hati.
Bersifat pengajaran. Khotbah pada masa sekarang sudah cenderung akan doktrin. Yang berusaha untuk membawa jemaat kepada pemikiran pengkhotbah. Namun hal yang disampaikan bersifat politik, bersifat menghukum dan juga bersifat menyinggung pendengar. Jadi khotbah yang disampaikan bukanlah bersifat pengajaran lagi.
Khotbah menyenangkan hati. Menurut Agustinus, ketika orang berkhotbah maka khotbah yang disampaikan kepada jemaat haruslah menyenangkan hati pendengarnya. Dengan firman yang disampaikan maka jemaat merasa senang dengan kebenaran firman yang sudah mereka terima. Namun sekarang ini kita sudah melihat, ketika orang pulang dari gereja mereka sering merepet-repet, mereka menggosip tentang khotbah yang disampaikan. Karena pengkhotbah menyampaikan firman itu bukan berdasarkan pengetahuan tentang kebenaran firman, melainkan karena dendam sehingga menyinggung orang lain, karena kedudukan sehingga harus berpolitik.
Khotbah menggerakkan hati. Menurut Agustinus ketika seseorang berkhotbah maka harus mampu untuk mengajak pendengar, mampu untuk menggerakkan hati pendengar. Mengajak pendengar untuk berbuat dan bertindak seperti apa yang telah disampaikan di dalam khotbah. Dengan mendengarkan khotbah yang disampaikan, hati jemaat tergerak untuk melakukannya. Sehingga diperlukan khotbah yang menyentuh kehidupan jemaat, yang menjadi pengajaran bagi pendengar. Namun saat ini kita sudah jarang menemukan pengkhotbah yang mampu berkhotbah hingga mencapai tujuan ini. Banyak pengkhotbah yang hanya menjelaskan tentang sejarahnya saja, sehingga jemaat merasa bosan dan tidak tau apa yang menjadi tujuan dari khotbah itu disampaikan.



[1] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 20101: hlm. 2-3
[2] Lih. Lukman Tambunan, Khotbah., hlm. 3-8
[3] Lih. Williams Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 200823: hlm. 10-11
[4] Lih. J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 20087: hlm.218
[5] Lih. H. Rothlisberger, HOMILETIKA: Ilmu Berkhotbah, BPK-Gunung Mulia, Jakarta: hlm. 22
[6] Tony Lane, RUNTUT PIJAR: Sejarah Pemikiran Kristiani, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 20098: hlm. 41-42

Minggu, 21 September 2014

CLINICAL PASTORAL EDUCATION (CPE), PENDIDIKAN PASTORAL KLINIS

CLINICAL PASTORAL EDUCATION (CPE)
PENDIDIKAN PASTORAL KLINIS



1.      Defenisi dan Hakikat CPE
CPE (Clinical Pastoral Education) atau Pendidikan Pastoral Klinis merupakan suatu pendekatan pada pendidikan teologi dengan penekanan belajar melalui praktik pelayanan, atau belajar melalui pengalaman (experiential learning). Program CPE menggunakan “metode pembelajaran klinis”. Unsur dalam CPE yang pertama-tama dan terutama adalah pendidikan. Kata “pendidikan” berakar pada kata Latin yang berarti “membawa keluar”, atau kalau lebih hurufiah “memperluas wawasan”. Kata “klinis” (dalam CPE) berarti “bertemu dengan orang (-orang) yang dilayani”. Penekanannya adalah proses pendidikan klinis-praktis, bukan proses pendidikan yang sifatnya teoritis saja. Di sini jemaat, pasien, keluarga, klien atau konseli, menjadi guru kita seiring dengan pelayanan kita kepada mereka. Metode pembelajaran klinis ini fokus pada proses dan dinamika kepedulian serta empati, belajar bagaimana mengetahui kebutuhan pendampingan, dan belajar bagaimana memulai intervensi pendampingan pastoral yang efektif bagi jemaat, pasien, klien atau konseli, dan pada saat yang sama juga berfungsi bagi hamba Tuhan (konselor) sendiri. Itulah sebabnya CPE ini dikenal juga sebagai “klinik bagi konseli – klinik bagi konselor”. Upaya untuk menyelidiki apa yang membuat suatu aksi, aktifitas, atau apa yang membuat seseorang itu terlibat di dalam suatu masalah emosional disebut dengan “pastoral”, dan inilah yang merupakan fokus utama dari metode klinis yang dipakai dalam CPE ini. Aksi dan refleksi perlu dilakukan, yaitu sebuah proses yang berdasar pada pengembangan identitas pastoral, otoritas pastoral, wawasan pastoral, keterampilan pendampingan dan konseling pastoral, batas-batas pastoral dan kedewasaan spiritual. Pendekatan melalui aksi dan refleksi ini membuka jalan bagi upaya untuk menjembatani dan mengintegrasikan “teologi dan pengalaman”, “teori dan praktik”, “hamba Tuhan dan jemaat”, “konselor dan konseli”, serta “pendidikan teologis klasik dan kompetensi dalam melakukan pendampingan pastoral”.
Kita membangun fokus “pastoral” dengan memberikan peranan bagi pesertanya sebagai “chaplain, pendeta, pendamping spiritual dan pemimpin rohani”. Melalui pelayanan yang dilakukan dan kemudian berefleksi atas pelayanan itu, peserta menjadi mengerti dan melakukan klarifikasi atas nilai-nilai, sikap, dan asumsi yang mereka bawa pada peran pastoral. Jadi, refleksi ini sangat menolong dalam upaya mengidentifikasi dan mengklarifikasi siapa kita sebagai pendeta, chaplain, pelayan, konselor, pemimpin/pembimbing rohani, dan/atau pengelola suatu komunitas. Fokus pastoral dari CPE secara khusus mengarah pada: refleksi pastoral, pembentukan pastoral dan kompetensi (kemampuan) pastoral. Selama CPE, peserta tertolong untuk bertumbuh dan memiliki rasa percaya diri yang positif,memiliki perasaan/pengertian yang tepat akan kelebihan/kekuatan mereka, demikian juga dengan kelemahan, otoritas pastoral, identitas pastoral dan perkembangan spiritual mereka.
Pendidikan pastoral klinis (CPE) adalah pendidikan untuk mengajar pelayanan pastoral untuk pendeta dan lain-lain. CPE adalah cara utama rumah sakit pelatihan dan pendeta rumah sakit di Amerika Serikat. CPE merupakan sebuah pengalaman yang multikultural dan antar agama yang menggunakan pertemuan kementerian kehidupan nyata siswa untuk meningkatkan pelayanan dan pelayanan pastoral yang diberikan oleh pengasuh dari semua keyakinan yang berbeda dan latar belakang budaya.[1]
CPE (Clinical Pastoral Education) atau pendidikan pastoral klinis menyediakan perjumpaan yang mendalam. Secara umum bagi orang-orang yang sedang bermasalah dalam hidupnya tentu sulit untuk menjawab pertanyaan mengenai arti agama bagi mereka. oleh karena itu maka CPE akan membantu menyoroti kelebihan dan kelemahan pola hubungan seseorang dengan semua aspek pelayanannya. CPE juga menyediakan kesempatan untuk merumuskan fungsi professional dan identitas pastoralnya yang unik dalam kerangka profesi jasa pertolongan lainnya dan dalam tradisinya sebagai orang Kristen. CPE juga mencakup partisipasi dalam suatu kelompok pertumbuhan yang biasanya sangat bernilai. Pada umumnya CPE dirumuskan sebagai satu pengalaman belajar yang paling kaya dari kehidupan mereka. pelayanan klinis ini, baik full-time atau paruh waktu memang menawarkan kesempatan yang unik namun kompeten dalam memperkuat pelayanan para pendeta secara menyeluruh.[2]
2.      Sejarah CPE
Sejarah awal CPE berakar pada gerakan pembaharuan pendidikan pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh gerakan pembaharuan pendidikan pada permulaan abad ini yang mulai mempertanyakan nilai-nilai pembelajaran pada waktu itu yang seolah-olah tanpa manfaat karena sangat lemah dalam hal implementasi/praktik. Beberapa tokoh yang dikenal sebagai penemu atau pendiri atau penggagas dari Pendidikan Pastoral Klinis ini ialah Anton Boisen, Richard Cabot, William Keller and Helen Flanders Dunbar. Tokoh-tokoh seperti John Dewey dalam bidang pendidikan, Richard Cabot dalam bidang ilmu kedokteran dan William Keller dalam bidang pendidikan teologi, mengusulkan metode pendidikan yang interaktif – suatu metode yang melibatkan peserta didik dalam pembelajaran – dari konsep ke implementasi dan aplikasi praktis. Gagasan ini kemudian memberikan inspirasi bagi Anton Boisen yang melaksanakan kegiatan CPE pertama pada tahun 1925. Pada tahun 1925, Dr Richard Cabot, seorang dokter dan tambahan di Harvard Divinity School, menerbitkan sebuah artikel dalam Survei Graphic menunjukkan bahwa setiap calon untuk kementerian menerima pelatihan klinis untuk karya pastoral mirip dengan pelatihan klinis yang ditawarkan kepada mahasiswa kedokteran.[3]  Pada 1930, Pendeta Anton Boisen menempatkan siswa teologis dalam kontak diawasi dengan pasien di rumah sakit jiwa.[4] Jadi, kegiatan CPE ini muncul untuk menjawab kebutuhan khusus dalam pendidikan teologi, untuk menjembatani jurang pemisah antara teori dan praktik.
Praksis pengawasan pastoral klinis adalah sebuah divisi dari teologi praktis. Pengawasan pastoral klinis telah berkembang sebagai cabang dari gerakan pendampingan dan konseling pastoral dimulai oleh pendidikan pastoral klinis pada tahun 1920. CPE berakar dalam gerakan Emanuel, yang dimulai sekitar peralihan ke abad 20. Awalnya, pelatihan klinis dalam pelayanan difokuskan pada kehidupan pasien dalam mengembangkan kesehatan psiko-spiritual. Hidup pasien dikenal sebagai "Dokumen hidup manusia". Kemudian gagasan dokumen manusia yang hidup juga termasuk narasi supervisees. CPE meminjam banyak pengetahuan dan prinsip dari ilmu-ilmu sosial dan obat-obatan dengan menggunakan pendekatan studi kasus dalam metode teologisnya.[5]
Sesudah perang dunia ke-2, porsi waktu yang dihabiskan para pendeta untuk kegiatan konseling semakin meningkat. Pada keadaan ini maka kebutuhan untuk mengembangkan program pendidikan untuk memperlengkapi para pendeta untuk pelayanan koseling semakin terlihat. Beberapa program khusus yang bergerak dalam bidang peatihan konselor dikembangkan oleh beberapa lembaga seperti Menninger Clinic di Kansas dan Universitas Katolik di Washington D.C., dimana beberapa pendeta telah dikirim ke sana. Permintaan untuk melanjutkan program pendidikan yang berfokus pada kemampuan dan keterampilan konseling semakin tinggi dan itu digagasi oleh banyak pendeta. Pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an, pelatihan, standaraisasi dan sertifikasi CPE diselenggarakan untuk para pendeta.[6]
3.      Tujuan dan Manfaat CPE
Tujuan awal dari CPE adalah untuk memberikan kesempatan bagi siswa teologis untuk mengembangkan kemampuan pastoral mereka melalui Pengalaman bertemu orang-orang dalam realitas kehidupan mereka (experience education), khususnya penyakit, baik fisik maupun jiwa. Anton Boisen, penggagas dari gerakan CPE percaya bahwa adalah mungkin untuk mempelajari agama pengalaman melalui praktek dari hati ke hati dan mendengarkan penuh perhatian. Ia mendorong murid-muridnya untuk menggunakan disposisi yang sama bahwa mereka berkeinginan dan berpedoman pada Alkitab ketika mendengarkan pasien. Anton Boisen menciptakan istilah  dokumen hidup manusia'. Dalam hal ini siswa yang mengikuti CPE ini diminta untuk mendengarkan pengalaman hidup dari orang-orang 'dan pemahaman mereka tentang 'Allah yang suci’. Dia percaya bahwa kegiatan dan pengalaman mendengarkan ini adalah cara yang signifikan untuk penyembuhan mereka. Pada saat ini, di tengah-tengah dunia Pastoral yang beragam budaya dan agama, maka kemampuan mereka untuk membedakan dan menanggapi spiritual kebutuhan orang-orang dari berbagai latar. CPE terus mengajak siswa untuk merenungkan dan belajar dari pengalaman mereka menyediakan perawatan spiritual. CPE bertujuan untuk mengembangkan kapasitas siswa CPE atau para pendeta untuk memberikan pelayanan dan perawatan pastoral/spiritual mendasar bagi orang-orang yang sudah ditutupi penyakit dan kurang mampu mengatasinya. Ini juga akan mengundang para pendeta untuk tumbuh dalam kesadaran diri dan orang lain. Ini juga akan memberikan kesempatan kepada para pendeta untuk menilai kapasitas mereka dalam pekerjaan mereka di bidang ini.[7]
Clinical Pastoral Education ( CPE ) adalah sebuah pengalaman dalam proses pendidikan yang telah diasah selama beberapa dekade dan tetap responsif terhadap perkembangan budaya yang memfasilitasi pertumbuhan pastoral . Inti dari CPE adalah pelayanan dengan sakit, terluka , dan mati, dan belajar dari pelayanan itu. Siswa CPE belajar melalui refleksi, diskusi, dan evaluasi, dan mampu mengaplikasikan pembelajaran mereka dalam pengalaman pelayanan di masa depan.
Fokus pembelajaran di CPE adalah mendapatkan keterampilan baru dan alat untuk pelayanan sementara mengidentifikasi hadiah dan tujuan bagi pelayanan tertentu. Dinamika kelompok yang dilengkapi dengan presentasi dari tim interdisipliner Hopkins agar siswa CPE untuk membiasakan diri dengan lingkungan perawatan kesehatan, serta ceramah menggunakan ilmu perilaku dan refleksi teologis. CPE di Johns Hopkins didasarkan pada teori pembelajaran orang dewasa yang memungkinkan siswa untuk mengarahkan proses pendidikan. Siswa CPE bekerjasama dengan kelompok sebaya mereka, pengawas yang bersertifikat CPE dan pendeta staf untuk mencapai tujuan.[8]
4.      Bentuk CPE
CPE ini dilaksanakan dalam bentuk kelompok (grup) kecil di mana pesertanya saling mendukung, saling berbagi dan saling memperkaya pengalaman dan pengetahuan. Setiap peserta tentunya memiliki sumber daya yang kaya untuk saling belajar dalam kelompok. Ini berarti peserta yang mendaftar di CPE datang dengan membawa latar belakang kehidupan dan pengalaman pelayanan yang unik. Peserta juga datang dengan perangkat nilai, sikap dan asumsi yang terbentuk melalui pengalaman dalam konteks sosial dan budaya yang bisa saja membatasi atau sebaliknya malah meningkatkan efektifitas pelayanan. CPE sebagai pengalaman pendidikan berupaya untuk memperluas pandangan kita tentang apa saja kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam diri kita secara personal dan dalam pelayanan masing-masing. Sebagai peserta yang menghadapi tugas pelayanan, sikap yang telah dibangun sebelumnya akan “dibebaskan”. Kebebasan ini kadang-kadang dialami sebagai sesuatu yang menekan, namun sesungguhnya merupakan awal yang penting untuk memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang apa itu pelayanan dan bagaimana kita bisa melayani dengan lebih baik. Pada akhir program, diharapkan setiap peserta akan melihat pelayanan dan diri mereka masing-masing dalam perspektif yang lebih luas.[9]
5.      Program Dasar Pemikiran CPE[10]
Clinical Pastoral Education ( CPE ) adalah program pendidikan dan formasi untuk
pelayanan perawatan pastoral. Metodologi program memanfaatkan aksi/refleksi
model pembelajaran. Komponen tindakan memerlukan penyediaan aktual pelayanan pastoral dalam pengaturan pelayanan. Perawatan ini mengakui dan menghadiri untuk kondisi manusia, agama dan spiritual dimensi terutama hidup. Komponen refleksi mensyaratkan eksplorasi pengalaman pelayanan, dinamika kehadiran, dan dimensi teologis dan dimensi spiritual. Proses aksi/refleksi ini merupakan bagian integral dari peserta pemahaman dan pembentukan identitas pastoral mereka dan kompetensi. CPE adalah" Teologi belajar dari dokumen manusia yang hidup " sebagaimana yang dikatakan oleh Anton Boisen. Tujuan dari program ini adalah bahwa peserta akan diakui sebagai tangan pertama pembawa suci dan penyedia khas perawatan spiritual dan pastoral.
5.1.Persyaratan dan penilaian
Sebuah Pengawas Pastoral Klinis atau Clinical Educator Pastoral (atau bertindak pengawas di tingkat ini ) berwenang untuk mengkoordinasikan , merencanakan dan melakukan program CPE. Pengawas akan mengevaluasi dan mengakreditasi sebuah penyelesaian yang memuaskan peserta sebuah kelompok CPE. Kelompok terdiri dari orang-orang yang sebaya dan tidak kurang dari tiga peserta dan biasanya tidak lebih dari enam peserta. Dengan rasio setara dengan per group pengawasan jam (minimal delapan jam untuk setiap peserta tambahan atas enam), per kelompok dapat ditingkatkan sampai maksimal delapan peserta CPE. Dasar terhadap proses CPE adalah lingkungan belajar yang relasional atau didasarkan pada suatu hubungan relasi, berdasarkan pengembangan sara saling kepercayaan, rasa hormat, keterbukaan dan tantangan.
5.2. Waktu yang Diperlukan
Sebuah unit CPE dapat diselesaikan selama minimal sepuluh minggu atau jangka waktu maksimal empat puluh empat minggu. Kursus co - ordinator harus memastikan bahwa setiap unit CPE termasuk jumlah minimal 400 jam belajar terawasi dalam pelayanan pastoral. Ini termasuk:
·         Sepuluh ( 10 ) jam pengawasan individu ;
·         Enam puluh ( 60 ) jam kelompok pengawasan sebaya ;
·         Dua ratus ( 200 ) jam dalam penempatan klinis yang setidaknya seratus jam ( 100 ) adalah praktek yang sebenarnya pelayanan pastoral kepada orang-orang. Praktek yang sebenarnya ialah perawatan pastoral yang terutama terjadi dalam percakapan pastoral dan keterlibatan dengan individu dan kelompok. Ini juga termasuk khotbah, melakukan ritual, administrasi dan pendidikan dalam konteks pastoral. Jam atas dan di atas jam praktek yang sebenarnya mungkin termasuk penelitian dan persiapan untuk pelayanan dan ibadah pelayanan, pertemuan interdisipliner, serah terima dan pencatatan statistik;
·         Enam puluh ( 60 ) jam untuk refleksi pribadi yang ditulis pada pengalaman dan ditulis
persyaratan kursus
.
Kepada para peserta CPE diharapkan untuk meningkatkan kualitasnya yang sesuai dengan standard of Pastoral Care Foundation (PCF) diwajibkan 10 Minggu secara Internasional. Apabila telah mengikuti 4 kali dalam 10 Minggu, maka berhak menyandang Sertifikat Chaplain. Kemudian melanjut lagi ke jenjang Supevisor dengan menghabiskan waktu 2-4 tahun dengan syarat sudah bergelar S2 dan telah mendapat sertifikat Chaplain. Ini jug tergantung dari penilaian Supervisor terhadap kandidat Supervisor apakah layak atau tidak menjadi kandidat Supervisor.
5.3.Sasaran CPE level 1:
  1. Pelayanan actual sebagai pelayan pastoral yang menunjukkan:
-          kemampuan untuk terlibat dalam pengalaman pribadinya terhadap orang-orang dengan pengalaman yang beragam,
-          kapasitas untuk mendengar dengan penuh perhatian,
-          kapasitas kemampuan untuk mempertimbangkan dan turut mengalami dengan berbagai pencapaian terhadap praktik pastoral
  1. Pengawasan reflektif dalam pelayanan, yang menunjukkan:
-          kemampuan untuk mengartikulasi, mengevaluasi dan merefleksikan dalam bentuk tulisan semua pelayanan dan dampaknya terhadap pribadi peserta CPE,
-          kapasitas untuk terlibat dalam percakapan reflektif mengenai pelayanan mereka
-          pertumbuhan ketelitian dan kewaspadaan terhadap bagaimana asumsi pribadi, sikap, nilai, cerita, kekuatan dan keterbatasan mempengaruhi perhatian pastoral mereka.
-          kapasitas untuk mengevaluasi hubungan mereka dengan para staf dalam CPE
-          mempertunjukkan kapasitas mereka untuk menggunakan model aksi-refleksi dan untuk mengevaluasi perkembangan menuju tujuan dan sasaran mereka.
-          kemampuan untuk mendengar dan merefleksikan mengatasi dukungan dan umpan balik yang ditawarkan dalam program CPE


6.      Tantangan dalam Praktek CPE

7.      Praktek CPE di HKBP
CPE mulai dikenal dalam HKBP melalui program UEM (United Evangelical Mission) sejak tahun 2004. Pada awalnya UEM hanya memperkenalkan CPE kepada anggota-anggota UEM melalui pengarahan yang dilakukan selama dua minggu. Pada dasarnya waktu ini masih sangat terlalu singkat sebagaimana yang disampaikan oleh Association for Supervised Pastoral Education in Australia (ASPEA), waktu yang dibutuhkan ialah minimal sepuluh minggu atau jangka waktu maksimal empat puluh empat minggu. Namun kemudian berkembang menjadi 6 Minggu di tahun yang sama sampai pada tahun 2006. Lalu selanjutnya anggota-anggota UEM menyepakati untuk dibentuk Badan Pengurus pada tahun 2007 di R.S.Cikini untuk mengembangkan CPE di tengah-tengah anggota-anggota UEM.

8.      Kesimpulan
Pada hakikatnya, Clinical Pastoral Education (CPE) atau Pendidikan Pastoral Klinis merupakan sebuah program pendidikan terhadap para pelayan atau pendeta (chaplain) yang berfokus pada pelayanan pastoral. Gerakan ini muncul pada awal abad ke-20 yaitu pada tahun 1925 yang digagasi oleh Anton Boisen Richard Cabot, Philip Guiles, Russell Dicks dan lain-lain. Gerakan pendidikan ini berorientasi pada pengalaman dimana pengalaman pribadi digunakan untuk lebih mampu dalam pelayanan pastoral. Pendidikan Pastoral Klinis ini muncul dilatarbelakangi oleh system pendidikan terutama dalam bidang teologi yang  terlihat memiliki jurnag yang sangat dalam yang memisahkan antara teori dengan implementasinya atau praktiknya. Oleh karena itu, CPE merupakan perwujudnyataan yang menjembatani antara teori dan praktek teologi. Selain itu, pada masa itu juga para pendeta dan pelayan gereja serta orang-orang yang bekerja dalam pelayanan yang menolong orang lain, mulai menyadari betapa pentingnya bahwa seorang Pendeta memiliki keterampilan ekstra di samping pekerjaan utamanya yaitu berkhotbah dan pekerjaan di lingkup Gereja saja.
Sebagaimana program pendidikan yang umum, Clinical Pastoral Education (CPE) juga memiliki standar kompetensi yang harus dipenuhi dan juga pengakreditasian dan sertifikasi sebagai bukti diakuinya kapasitas para peserta CPE dalam kemampuannya sebagai pelayan pastoral.
Clinical Pastoral ini dilakukan dalam bentuk kelompok dimana dalam satu kelompok terdiri dari paling sedikit tiga peserta dan paling banyak enam peserta.


[1] "Frequently Asked Questions about ACPE Clinical Pastoral Education". The Association for Clinical Pastoral Education, Inc. See section What is Clinical Pastoral Education?. Retrieved 2011-10-20.
[2] Lih. Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,:hlm. 557-558.
[3] Stokoe, Rodney J.R. (2005) [1974], "Clinical Pastoral Education" (pdf), The Nova Scotia Medical Bulletin (Reprint) 53 (1): 26–28, ISSN 0029-5094, retrieved 2011-10-20 The reprint is available as part of the project: "Living Human Memories". CASC/ACSS The Canadian Association for Spiritual Care. Retrieved 2011-10-20. 
[4] American Association of Pastoral Counselors/History, diakses pada Selasa, 3 Desember 2013, pukul 09.00 WIB.
[5] Lih. Thomas St. James O’Connor, Clinical Pastoral Supervision and Theology of Charles Gerkin, Wilfrid Laurier University Press, Canada 1998:hlm. 2.
[6]Lih. Robert J. Wicks, dkk, Clinical Handbook of Pastoral Counseling, vol.3, Paulist Press, USA 2003:hlm. 8.
[7] https://www.stvincents.com.au/assets/files/pdf/E/Events/2013_CPE_Intro_Brochure_v3.pdf , diakses pada Selasa, 3 Desember 2013, pukul 09.00 WIB.
[8] http://www.hopkinsmedicine.org/pastoralcare/education/, diakses pada Selasa, 3 Desember 2013, pukul 09.00 WIB.
[9] http://okagulo.blogspot.com/p/clinical-pastoral-education-cpe.html, diakses pada Selasa, 3 Desember 2013, pukul 09.00 WIB.
[10] Dikutip dari dokumen ASPEA (Association for Supervised Pastoral Education in Australia), Standards for Clinical Pastoral Education, Copyright ASPEA Inc. October 2011.